Slow jurnalism – Kaos Berita Pertama dari Lombok

KAOS BERITA PERTAMA DARI LOMBOK

kaos peresean lombok warna hitam

Peresean Tradisi Meminta Hujan Masyarakat Sasak

Puncak musim kemarau di bumi Lombok, kerap  jatuh pada bulan ke lima di penanggalan Suku Sasak,  Pulau Lombok.

Menghadapi kemarau panjang, masyarakat Lombok meyakini bisa menghadapi kekeringan yang kerap memunculkan paceklik, dengan menjalani ritual mengusir kemarau meminta hujan datang.

Tradisi turun temurun ini dilakukan oleh anak anak dengan menyanyikan kidung dan menjalani aksi tanding antar pepadu (petarung)  yang dikenal dengan Peresean.

Mengadu ketangkasan bertarung dengan mengunakan tameng dan rotan sebagai pemukul. Berharap hujan turun dan kemarau segera pergi menjauh.

Dua pemuda mengadu ketangkasan, saling memukul dan menghindari pukulan, berbekal ende (tameng) dan rotan sebagai senjata pemukul.

Jika bisa menghindar mereka akan menari karena selama pertandingan musik pengiring dengan suling yang melengking, menambah kekuatan dan keberanian para pepadu.

Dalam setiap pertarungan mereka akan diawasi oleh pekembar atau wasit, jika menyalahi aturan, memukul membabi buta tanpa seni, pekembar akan menasehati, karena pada dasarnya peresean adalah seni tradisi bukan alat untuk saling memukul untuk bermusuhan.

Itulah kenapa di akhir pertarungan mereka akan saling berpelukan dan memaafkan tanpa menyimpan dendam di hati.

Tradisi ini selalu dinanti di hari hari istimewa, dipercaya dan diyakini bisa mempercepat datangnya hujan dan mengusir kemarau panjang.

Lalu Saladin, tokoh masyarakat asal Desa Ende Lombok Tengah, pada tim Apahjagah menjelaskan musim kemarau pada bulan kelima penanggalan Suku Sasak itu,  diyakini sebagai puncak terik matahari karena mataharai tepat berada di atas kepala dan bayangan berada dibawah kaki.

“Sehingga diharapkan Ngalih Lengon atau bergesernya bayangan, sebagai pertanda musim kemarau akan berakhir,” ungkapnya.

Di Desa Adat Ende, Lombok Tengah,  tradisi unik ini dilaksanakan oleh masyarakatnya,  terutama anak anak yang melaksanakan ritual adat ini, mereka akan berputar mengelilingi sesaji adat, yang terdiri dari makanan tradisional, buah dan sirih,  sambil berputar anak anak akan menyanyikan kidung kidung harapan.

Eak Eak Tu Mereje, Kanak Beak tumpah Jeje

Tur ter unin genter, kecebul otak simbur…kecebul otak simbur

(Eak Eak Tu Mereje, anak kecil menebar benih…muncullah ikan simbur..muncullah ikan simbur)

Salah satu Kidung yang terdengar oleh tim Apahjagah, menurut Lalu Saladin sebagai kidung yang dinyanyikan anak anak agar doa mereka memanggil hujan terkabul.

Menurutnya, keterlibatan anak anak diharapkan melatih dan mengajarkan mereka untuk memahami kondisi cuaca dan iklim di desa mereka.

Peresean kemudian tampil ditengah kegembiraan anak anak, sebagai tradisi turun temurun untuk mendapatkan banyak doa dan harapan dari seluruh masyarakat yang menanamkan keyakinan dalam diri mereka, bahwa tradisi leluhur mengajarkan banyak keteguhan dalam menanti berkah dari yang Maha Kuasa.

Belakangan tradisi ini dijadikan seni bela diri tradisional yang bisa menghibur para tamu yang menginjakkan kaki di tanah Lombok.

 

Desain : Alit
Editor Desain: Agung
Teks : Pikong

Category
Share This Items :
Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia there live the blind texts.